Defenisi dan hakikat kebahagiaan

Defenisi dan hakikat kebahagiaan

Defenisi dan hakikat kebahagiaan

Kata “bahagia” adalah diantara kata yang orang-orang berbeda dalam mendefiniskannya. Diantara mereka ada yang menyepadankannya dengan kelezatan atau masa rehat atau harta atau jabatan atau ketenaran, dan seterusnya. Olehnya itu, kebanyakan manusia menghabiskan usianya dengan melakukan berbagai macam usaha guna meraih kebahagiaan (sesuai dengan persepsi mereka).

Betul bahwa kebahagiaan itu adalah rasa yang timbul dari dalam hati disaat ridha, cemburu, senang, rehat dan gembira. Tetapi lagi-lagi dalam mendefinisikannya, ada banyak perbedaan sejalan dengan perbedaan tabi’at, kecendrungan, wawasan dan bahkan lingkungan tempat mereka berada.

Sebagian orang ada yang melihat kebahagiaan itu ada pada harta atau tempat tinggal atau kedudukan atau kesehatan. Sebagian lain melihatnya ada pada istri atau anak atau pekerjaan atau pelajaran. Yang lainnya mungkin memandangnya jika seorang berada dekat dengan orang yang dicintainya atau jauh dari orang yang selalu mengganggu atau ketika jiwa teristirahatkan dari berbagai urusan atau dengan membantu orang miskin. Tetapi apapun persepsi itu, ternyata yang justru mengherankan adalah ketika kebanyakan manusia ditanya, “Benarkah anda merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya ?.”. Ternyata jawaban mereka adalah, “Tidak”.

Perbedaan persepesi dalam menilai kebahagiaan inilah yang mendorong beberapa pemerhati internasional dan pihak yang berkepentingan membuat sebuah grafik tangga sebagai parameter untuk menilai tingkat kebahagiaan penduduk di berbagai Negara. Mereka ingin mengetahui Negara manakah yang tingkat kebahagiaan penduduknya terbesar ?. Setelah melakukan pengamatan dengan menggunakan standar-standar penilaian yang telah mereka rumuskan, ternyata hasilnya amatlah mengejutkan. Dari penelitian itu ditemukan bahwa masyarakat Amerikalah yang paling banyak mengalami masalah (sosial dan individu). Padahal mereka hidup dengan berbagai kemewahan dan fasilitas yang sangat memadai bahkan lebih. Sebaliknya ternyata masyarakat yang paling tenang, aman dan sedikit masalah justru adalah masyarakat Nigeria yang terhimpit dengan berbagai persoalan ekonomi.

Demikianlah hasil dari penelitian yang dilakukan oleh majalah News Week Amerika, menyingkap penduduk Negara yang paling banyak merasakan kebahagiaan. Dalam penelitian itu didapati bahwa penduduk Nigeria yang miskin dan didominasi kaum muslimin itu ternyata berada pada posisi puncak dari 65 Negara yang dijadikan sampel untuk mengetahui Negara manakah yang tingkat kebahagiaan penduduknya lebih tinggi. Setelahnya adalah Meksiko, Venuezwela, dan Elsalfador. Sementara sederetan Negara maju ternyata – secara mengejutkan- menempati posisi juru kunci dalam penelitian tersebut.

Hal yang hendaknya menjadi bahan renungan adalah pengakuan jujur mayoritas masyarakat Amerika yang turut berpartisipasi dalam penelitian ini dengan komentar-komentarnya. Mereka bependapat bahwa kebahagiaan itu tidak berkaitan dengan harta dan kekayaan .Pendapat ini tentu sangat aneh bagi masyarakat pragmatis dengan ciri liberalnya yang sangat kental. Hal inilah yang lantas memicu pihak redaksi majalah untuk kembali mengadakan peneitian berkenaan dengan fenomena penyebaran agama yang kembali marak di wilayah USA, dan antusias yang sangat besar dari masyarakat Amerika untuk mencari lebih dalam hakikat kebahagiaan untuk mengobati jiwa mereka yang telah lelah.

Akar masalah dari kebingungan orang-orang dalam mencari kebahagiaan mungkin muncul dari defenisi kebahagiaan yang dicetuskan oleh beberapa orang tokoh dan selanjutnya dijadikan acuan / parameter.

Flato -misalnya- mendefinisikan bahagia sebagai sifat-sifat lebih yang menghiasi jiwa seorang; berupa hikmah, keberanian, kewibawaan dan keadilan. Ia menyatakan bahwa seorang itu tidak akan mungkin merasakan kebahagiaan sempurna kecuali jika ruhnya telah kembali ke alam yang lain.

Adapun Aristoteles, Ia menganggap bahwa kebahagiaan itu semata adalah pemberian Allah yang diwujudkan dalam 5 hal, yaitu; kesehatan jasad dan panca indra, penemuan sumber daya dan pemanfaatannya secara baik, keberhasilan kerja dan tercapainya cita-cita, akal dan keyakinan yang lurus dan bersih, serta terjaganya nama baik dan pengakuan orang-orang akan hal itu.

Dalam ilmu psikologi, kebahagiaan itu mungkin dipahami sebagai sifat yang merupakan reaksi jiwa yang telah mencapai derajat ridha terhadap hidup. Atau mungkin juga dipahami sebagai sifat yang muncul sebagai reaksi dari berulangnya fenomena / kejadian menggembirakan.

Tetapi bagaimanapun defenisi itu diungkapkan, tetap saja pertanyaan-pertanyaan awal itu akan berulang dan belum menemukan jawabannya, Apa hakikat kebahagiaan itu ?, bagaimana mendapatkannya ?, dan apakah kebahagiaan itu hanya terbatas pada tercapainya kenikmatan dan kesenangan hidup ?




Tags: